Jumat, 13 Maret 2009

Pacaran dalam perspektif Islam

Ketika pertama kali Allah menjadikan nabi Adam di surga, Dia menciptakannya dalam keadaan sendirian. Perasaan yang menghampiri jiwa Nabi Adam membuat ia sering termenung dan melamun di tengah kenikmatan surgawi yang mengelilinginya. Tidak ada teman yang bisa diajak bicara dan diajak berbagi cerita. Hanyalah merdu kicau burung – burung yang berterbangan di taman Firdaus yang setia menemaninya. Allah SWT sebagai Dzat pencipta mengetahui dan memahami kegelisahan dan kesepian hati hamba-Nya.
Akhirnya, ketika Nabi Adam dalam keadaan tertidur, Allah mengambil tulang rusuk sebelah kirinya, lalu menjadikannya seorang perempuan bernama Siti Hawa. Alangkah terkejutnya Nabi Adam ketika terjaga dari tidur telah didapatinya seorang perempuan yang cantik berada di sampingnya. Tanpa pikir panjang Nabi Adam langsung ingin menyentuhnya. Namun perempuan itu secepat kilat menghindar dari sentuhan Nabi Adam sambil berkata “ Engkau boleh menyentuh tubuhku dan memiliki diriku seutuhnya, dengan syarat kau harus melamarku dan membayar mas kawin kepadaku. “ “ Apa mas kawinnya ? “ Tanya Nabi Adam “ Kau harus membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW.”. Jawab Siti Hawa. Setelah itu terjadilah pernikahan yang disaksikan oleh para Malaikat.
Sepenggal kisah yang terjadi pada diri nenek moyang kita ini memberikan suatu pelajaran bahwasanya manusia membutuhkan pasangan. Tidak ada manusia yang sanggup bertahan dalam kesendirian, kecuali orang – orang yang hati mereka telah dijauhkan oleh Allah dari segala kesibukan duniawi dan syahwat.
Dalam islam dikenal sebuah lembaga perkawinan yang mengatur dan membimbing manusia supaya dapat menyalurkan hasrat birahinya dengan baik dan benar. Betapa indahnya dan bahagianya sepasang insan yang telah didikat dalm tali suci perkawinan. Rasa damai, rasa tenteram, rasa suka cita akan bercampur menjadi satu dalam hati sanubarinya.
Namun, dewasa ini lembaga suci perkawinan telah sedikit ternoda dan dilecehkan oleh sebagian tingkah manusia yang terpengaruh oleh budaya hidup bebas ala barat. Mereka tanpa malu dan tanpa batas hidup serumah dengan pasangannya, bahkan sampai melahirkan anak tanpa ada ikatan suci sebagai seorang suami istri yang sah. Sungguh sangat memalukan dan tidak sesuai dengan tradisi ketimuran serta norma agama yang benar.
Sebelum memasuki gerbang perkawinan, perlu diadakan persiapan baik fisik, mental, dan materi. Hal ini dikarenakan ketika seseorang sudah berada dalam suatu kehidupan rumah tangga, maka segalanya akan berubah. Dan yang paling penting adalah bagaimana agar dua hati yang saling bertolakbelakang bisa disatukan dalam satu pandanagan, satu tujuan hidup, seia – sekata, seirama – senada dalam mengarungi bahtera kehidupan.
Oleh karena itu, agar tujuan perkawinan, yakni membentuk keluarga sakinah bisa tercapai, maka sebelum calon suami dan istri melangsungkan pernikahan harus mengenal kepribadian masing – masing. Disinlah peran penting pacaran. Pacaran muncul sebagai wahana atau media pengenalan kepribadian masing – masing pasangan calon pengantin.
Namun patut disayangkan. Pada masa sekarang ini, utamanya yang dilakukan oleh remaja yang memproklamirkan dirinya remaja gaul, remaja modern, dan aneka atribut lainnya. Mereka menjadikan pacaran bukan sebagai pengenalan pribadi, melainkan sebagai uci coba dalam arti yang lebih luas. Uji coba kesetiaan, uji coba kejantanan, uji coba keperawanan, dan yang paling memalukan dan menyebalkan adalah pacaran hanya sebagai alat mencari kesenangan alias just for fun. Akibatnya mudah ditebak, karena hanya ingin mencari kesenagan saja tanpa bertujuan kearah hubungan yang lebih serius, ketika sudah mendapat madunya, maka ia akan mudah begitu saja mencampakkan bunga yang sudah layu di tanah.
Maka dari itu, bagi orang yang sedang dilanda cinta dan dimabuk asmara, berhati – hatilah dan waspadalah. Jangan mudah tergoda dan terbuai oleh kenikmatan sesaat dengan mengatasnamakan cinta. Banyak sudah korban rayuan yang jatuh berguguran dengan menanggung segala akibat yang ditimbulkannya. Hamil diluar nikah, aborsi, pernikahan yang dipaksakan merupakan sederetan permasalahan yang ditimbulkan oleh gaya pacaran yang tidak sehat dan menyimpang dari norma – norma susila.
Sebenarnya dalam islam pun, dikenal yang namanya pacaran. Ketika seorang laki – laki ingin mempersunting gadis kepujaannya, maka ia diperkenankan untuk melihat twajah dan telapak tangannya. Tujuan agar lelaki bisa mengenal bentuk tubh calon istrinya yang dapat digambarkan dengan hanya melihat wajah dan kehalusan telapak tangannya. Cara ini memang ketingalan zaman. Namun inilah gaya pacaran yang islami, lantas untuk mengenal kepribadian, watak, karakter, dan sifatnya, menambil dari keterangan yang terdapat dalam Kitab Tanwirul Qulub, hendaknya sang lelaki mengutus seorang perempuan yang dipercayainya untuk menanyakan perihal kehidupan pribadi calon istrinya. Begitupun sebaliknya. Dengan cara ini biasanya seorang lelaki dapat mengetahui kepribadian dengan jelas dan gamblang. Mengapa demikian ?. Dikarenakan perempuan akan terbuka mengenai apapun yang ada pada dirinya manakala ia curhat kepada sesama perempuan. Lain halnya kalau sang lelaki itu sendiri yan berusaha untuk mengetahui watak caon istrinya melalui pacaran seperti yang terjadi sekarang ini. Ini disebabkan karena ketikam masa pacaran, semuanya akan terasa indah. Apapun yang melekat dan menimpa pada gadisnya semua dikatakan baik. Penyesalan baru datang kemudian setelah melangsungkan pernikahan. Sifat yang baik, tutur kata yang lembut, wajah yang selalu cantik menawan berubah sertus delapan puluh derajat menjadi buruk, tutur kata yang kasar, dan sifat yang jelek lainnya. Ternyata sifat yang baik selama pacaran hanyalah kedok untuk menutupi sifatnya yang buruk, tentu tidak sama.
Sekarang tinggal bagaimana kita. Apakah memilih cara kuno yang sesuai dengan syar’iat yang bisa menjamin kelanggengan hidup rumah tangga seperti yang dialami oleh orang – orang tua, ataukan memilih model pacaran zaman sekarang yang penuh resiko terjadi pelanggran syari’at dan berakibat fatal ? Tentu kalau kita punya nuranii dan akal sehat akan menghindari yang penuh resiko. Namun, kadang nafsu lebih menguasai kita, akhirnya semuanya dikembalikan kepada kita, pilih selamat atau celaka. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar