Minggu, 01 Maret 2009

pers mahasiswa : sebuah wacana yang perlu kita sadari

Keberadaan pers mahasiswa di Indonesia telah banyak memberikan ruang dan tambahan bagi Publik. Kerjasama antara pers mahasiswa dengan gerakan mahasiswa menjadi kekuatan massa yang bisa menumbangkan kekuasaan rezim. Mulai dari keruntuhan Rezim Orde Lama Soekarno dan yang paling fenomenal adalah peristiwa Mei 1998. Saat itu, pers mahasiswa berperan besar dalam menyampaikan informasi yang mengakomodasi kepentingan rakyat yang selama ini terkungkung akibat cara militer ala Orde Baru.

Setelah memasuki tahun 2009, cita-cita perubahan yang didambakan belum kunjung bisa dinikmati. Pers umum jauh lebih berani dan vulgar dalam menyampaikan pemberitaan tanpa merubah isi walaupun tahu resiko yaitu bermasalah dengan hukum. UU Pokok Pers juga memang tidak lagi membedakan pers umum dengan pers mahasiswa. namun, kenyataannya Permenpen no.01/per/menpen/1975 yang menyatakan pers mahasiswa adalah penerbitan khusus yang berada dalam koordinasi birokrat kampus dan rektor sebagai penanggung jawab belum dicabut. Setidaknya dua peraturan ini membuat para penggiat pers mahasiswa masih dalam posisi dilematis.

Pertama, Pers yang seharusnya bisa menjadi fungsi kontrol belum sepenuhnya bisa dilaksanakan. Kedua, permasalahan yang dihadapi pers mahasiswa adalah kebingungan dalam penentuan ideologi dan cita-cita. Sebab, fungsi yang sudah mereka lakukan bertahun-tahun diambil alih secara frontal oleh media umum. Lalu harus bagaimanakah sebuah pers mahasiswa itu?

Mencari Format Ideal

Jika mungkin gerakan mahasiswa mulai melakukan pembenahan dan penataan orientasi gerakan setelah adanya orde reformasi. Fungsi dan peran sebagai pers mahasiswa yang sudah diambil alih oleh pers umum akan juga perlu perlu melakukan reorientasi gerakan. Namun persoalan ini sendiri masih menjadi perdebatan internal dikalangan aktivis pers mahasiswa sendiri. Ruang gerak yang semakin sempit hingga seolah tidak ada ruang lagi untuk kritis dan progresif dan persoalan karakter pers mahasiswa secara umum sampai sekarang merupakan masalah yang belum terumuskan.

Alasan diatas seolah menjadikan pers mahasiswa tidak berarti dan memilih kembali ke persoalan internal kampus. Sehingga muncul indikasi, saat ini pers mahasiswa hanya menjadi sarana atau batu loncatan untuk menyalurkan minat dan bakat kejurnalistikkan. Pola pikir seperti ini, tanpa kita tahu menjadikan pers mahasiswa sebagai lembaga kosong tanpa ideologi dan hanya menjadi semacam diklat bagi mereka yang ingin terjun ke media yang lebih umum setelah lulus nanti.

Dalam mengatasi dan mencari format ideal pers mahasiswa, Harus ada penyesuaian dengan kodisi riil yang dihadapi. Penjabaran kehebatan dan kisah sukses tidak harus serta merta diikuti dengan tindakan yang serupa tapi tanpa arah. Hal ini akan menjadikan pers mahasiswa menjadi gerakan yang liar dan tanpa orientasi. Dibukanya demokrasi dan kebebasan pers sedikit banyak berpengaruh terhadap eksistensi pers mahasiswa. Dalam situasi kebebasan yang sedang coba dibangun oleh bangsa ini, dimana fungsi kontrol dan kritik sosial diambil alih oleh pers umum, LSM dan badan kehormatan lembaga, pers mahasiswa harus kembali ke kampus. Dengan kembali ke kampus, maka pers mahasiswa akan kembali mendapatkan posisi tawar di kalangan birokrat kampus dengan mengakomodasi kepentingan mahasiswa. Padahal Idealnya pers mahasiswa bisa menjadi oposisi atau sebagai fungsi kontrol terhadap kebijakan kampus yang merugikan kepentingan mahasiswa. Dari sini, pers mahasiswa bisa melakukan perselingkuhan lagi dengan gerakan mahasiswa untuk menentang segala kebijakan kampus yang menghasilkan mahasiswa apatis dan hedonis. Namun harus diingat, pers mahasiswa agat tidak terjebak dalam kepentingan politik praktis oknum aparat kampus. Pers mahasiswa harus konsisten dengan independensinya dan sebagai pendidikan penyadaran bagi mahasiswa.

Halangan utama, bukan halangan berarti

Halangan bagi pers mahasiswa adalah keterbatasan waktu yang dimiliki karena dibatasi oleh berbagai kewajiban akademik. Sehingga seringkali waktu terbit pers mahasiswa tidak rutin atau periodik. Untuk mengantisipasi hal ini, maka alternatif pilihannya adalah membuat buletin mini yang periode terbitnya sebulan sekali atau dua minggu sekali. Terakhir, dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, wilayah atau kemasan pers mahasiswa harus selalu dinamis. Artinya, tidak selalu hadir dalam konsep konservatif seperti buletin, tabloid atau majalah. Pengelola pers mahasiswa bisa saja memakai blog atau jurnal sebagai media pertukaran informasi. Kehadiran media baru diharapkan bisa mengambil simpati mahasiswa sehingga terjadi sinergi antara kepentingan mahasiswa dengan pers mahasiswa sebagai jembatan.

Jadi, tidak ada alasan lagi buat pelaku pers mahasiswa untuk diam. Hanya menjadikan sekretariat sebagai tempat nongkrong tanpa ada refleksi kritis terhadap kebijakan kampus. Dengan kondisi yang dihadapi seperti sekarang, pers mahasiswa harus sadar bahwa dia merupakan alat perjuangan mahasiswa dalam menyuarakan aspirasinya kepada rektorat atau birokrat kampus. Strategi keberpihakan ini harus jelas. Kenapa ruang ini tidak dimanfaatkan?

1 komentar: